SEJARAH SINGKAT DESA DAN HARI JADI WILANAGARA
- Uraian Sejarah Singkat
Desa Wilanagara adalah salah satu desa di Kecamatan Luragung, Kabupaten Kuningan, yang memiliki sejarah panjang. Perjalanan sejarah dan peradaban masyarakatnya telah dimulai kira-kira sejak masa Kerajaan Galuh, terus melewati pelbagai periode kekuasaan dan mampu bertahan sampai sekarang. Secara harfiah, Wilanagara berasal dari dua kata kuno (arkais) “Wilwa” (buah/ pohon maja) dan “Nagara” (daerah pemukiman/ satuan kawasan administrasi masyarakat Sunda) yang merujuk pada suatu wilayah lembur yang banyak ditumbuhi pepohonan maja. Meski demikian, secara kultural, masyarakat memiliiki keyakinan bahwa akar kata Wilanagara adalah “Wali” dan “Nagara” yang merujuk pada momentum perkumpulan para tokoh penting negara di masa Sunan Maulana Jati Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang berlangsung di Lemah Luhur yang sekarang berada di sebelah barat Balai Desa Wilanagara.
Perjalanan sejarah Desa Wilanagara setidaknya dimulai pada masa Kerajaan Galuh, di mana masyarakat Sunda saat itu masih mengandalkan sistem ngahuma sebagai mata pencaharian mereka. Daerah aliran Sungai Cisanggarung, yang menjadi salah satu media sekaligus patokan arah transportasi masyarakat Galuh menuju Luragung dan Cirebon pada masa itu, mempertemukan urang Sunda dengan Bakom, sebuah wilayah di bagian timur laut desa yang diyakini sebagai pemukiman paling awal masyarakat Wilanagara. Karena lokasinya strategis dan subur akibat berada di sisi Sungai Cisanggarung dan Sungai Cibangka, maka makin banyak orang yang tinggal menetap di sana. Lama kelamaan, tumbuh lah sebuah kelompok masyarakat Pasundan yang hidup secara berdampingan satu sama lain di sana.
Karena sistem kemasyarakat menuntut secara alamiah adanya kepemimpinan dan struktur sosial, maka lahirlah pemimpin-pemimpin yang menjadi pengelola wilayah. Dalam konteks ini, pemimpin terawal di wilayah Wilanagara yang diketahui adalah Ratu Bangka. Meski gelar “ratu” identik dengan perempuan di masa sekarang, pada masa itu predikat tersebut merupakan gelar yang jamak dipakai oleh para pemimpin laki-laki, seperti halnya Prabu Siliwangi yang juga memiliki gelar “Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata” atau Sunan Maulana Jati yang bergelar “Pandita Ratu”. Kepemimpinan Ratu Bangka kemungkinan terjadi pada abad ke-15 M, dan masa hidupnya semasa dengan masa hidup Sunan Maulana Jati Syarif Hidayatullah. Kedua tokoh ini tampaknya memiliki hubungan diplomatik yang baik sehingga selalu saling mendukung dan menjaga satu sama lain.
Di saat Sunan Maulana Jati melakukan aktivitas dakwah di kawasan Luragung, beliau menempatkan “Putri Ong Tien” selaku istrinya di Wilanagara yang termasuk wilayah kekuasaan Ratu Bangka. Hal ini menegaskan hubungan baik antara Sunan Maulana Jati dan Ratu Bangka, karena jika tidak, maka tidak mungkin Raja Cirebon itu berani menjadikan Wilanagara sebagai tempat tinggal bagi orang yang dicintainya. Kehadiran Putri Ong Tien dan Sunan Maulana Jati menjadi tonggak sejarah kemunculan cahaya Islam di tengah masyarakat Wilanagara. Jejak peradaban pada masa ini adalah Lemah Luhur yang menjadi tempat dakwah sekaligus pertemuan kanjeng sunan, Pancuran Mas yang dipercayai sebagai tempat penting untuk melakukan aktivitas kehidupan, dan Makam Jagabaya yang notabene merupakan makam pengawal sang putri dan sunan saat di sana. Jagabaya sendiri merupakan pasukan ring pertama yang perannya seperti Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden) di zaman sekarang.
Setelah Sunan Maulana Jati kembali melanjutkan aktivitas syiar Islam ke Kuningan dan kembali ke Cirebon, nama Wilanagara kembali tenggelam dalam sejarah karena tidak tercatat dalam sumber-sumber kekuasaan. Nama Wilanagara kembali muncul satu abad kemudian, dalam sebuah laporan arsip yang mencatat sensus penduduk sederhana di zaman peralihan kekuasaan Mataram menuju kekuasaan VOC. Dalam laporan yang ditulis oleh Claes Hendriksz dan Jan Carstensz itu, (https://www.suarakuningan.com/2016/07/desa-yang-sudah-ada-di-kuningan-timur.html?m=1 ) tercatat nama Wilanagara dengan nama Wieranagara. Desa yang dibebani pajak senilai 20 ringgit (mata uang yang berlaku saat itu) tersebut dipimpin oleh Angabei Sitjamarta (Sicamerta). Merujuk pada gelar yang disandangnya, pemimpin Wilanagara itu dapat dikategorikan sebagai tokoh penting yang memiliki peran dalam kegiatan militer negara. Tidak dapat diketahui dengan pasti, apakah gelar itu dianugerahi Mataram atau Cirebon, namun yang pasti sosok Sicamerta adalah sosok yang sangat terhormat.
Setelah korespondensi Pangeran Gebang-VOC tahun 1689 M dan Perjanjian Mataram-VOC tahun 1705 M, dapat dipastikan bahwa Wilanagara berada di bawah kuasa Kepangeranan Gebang yang mendapat perlindungan Kompeni. Dalam sumber-sumber kartografi VOC, nama Wilanagara senantiasa tersebut sebagai salah satu desa yang dapat disinggahi saat melakukan perjalanan di antara kawasan pesisir Cirebon dan pedalaman Galuh. Pada periode ini, nama Wilanagara disebut beberapa kali sebagai desa yang terdiri dari sejumlah cacah yang bermata pencaharian sebagai petani dan mengolah sawah. Dengan kata lain, Wilanagara adalah salah satu daerah yang maju pada masanya karena lebih awal melakukan pertanian sawah dan hidup menetap. Pada masa itu, sebagian masyarakat Sunda lainnya masih menyandarkan diri mereka pada kegiatan ngahuma dengan karakteristik hidup yang nomaden.
Pada abad ke-19 M, nama Wilanagara termaktub dalam catatan penduduk milik pemerintahan kolonial Inggris. Sama seperti tertulis dalam pelbagai sumber arsip sebelumnya, Wilanagara di zaman itu juga masih berada di bawah pengelolaan Kepangeranan Gebang. Kedudukan itu kemudian berubah, pasca dilakukannya reorganisasi wilayah karesidenan Cirebon oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1819 M. Pada masa itu, kekuasaan Pangeran Gebang telah dihapuskan dan wilayah Wilanagara beserta sejumlah desa lainnya di dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Kuningan (Regentschap Koeningan). Dengan demikian, eksistensi Wilanagara jauh mendahului kelahiran Kabupaten Kuningan karena desa ini telah ada sejak abad ke-15 M atau ke-16 M, sedangkan kabupaten yang menaunginya baru diresmikan pada abad ke-19 M. Menurut catatan yang ada di desa, pada kurun waktu ini, kepemimpinan desa berada di tangan Kuwu Sawian (menjabat 1813-1843 M).
Pada masa kolonial Hindia Belanda, Wilanagara dipimpin oleh sejumlah kepala desa yang visioner seperti Kuwu Nurwenda (menjabat 1843-1873 M), Kuwu Sarwan (menjabat 1873-1903 M), dan Kuwu Hanap (menjabat 1903-1933 M). Pada masa ketiga kepala desa ini, Wilanagara secara perlahan bertransformasi menjadi desa yang lebih baik dari sebelumnya. Pelbagai bangunan untuk kepentingan masyarakat, mulai dirintis pembangunannya pada periode ini. Sebelumnya, memang telah dibangun pelbagai fasilitas masyarakat namun dalam kondisi sederhana sesuai kondisi kemajuan zamannya. Setelah itu, di masa peralihan tiga kekuasaan (Belanda, Jepang, dan kemudian Republik), nama Kuwu Sutisna Miharja (menjabat 1933-1963 M) muncul sebagai nama pemimpin Wilanagara. Pada masa ini, perjuangan masyarakat dan kepala desa menjadi sangat berat akibat peperangan yang terjadi.
Pasca kemerdekaan dan berakhirnya aktivitas kelompok gerombolan (DI/TII), keamanan di Desa Wilanagara dan desa-desa lainnya di Priangan Timur menjadi lebih terjamin, sehingga peradaban masyarakat mulai tertata lebih baik dari periode-periode sebelumnya. Dalam kurun waktu tersebut, terdapat 7 kepemimpinan kepala desa dan 1 pejabat sementara (PJS) kepala desa, yaitu : kepemimpinan Kuwu H. M. Mugni (menjabat 1963-1973 M), Kuwu Kasmad (menjabat 1973-1983 M), Kuwu Samsudin (menjabat 1983-1993 M), Kuwu Sujana (menjabat 1993-2003 M), Kuwu Edi Supriadi (menjabat 2003-2006 M), PJS Oim (menjabat 2006-2008 M), Kuwu E. Rohana (menjabat 2008-2013 M), dan Kuwu Asep Sudiana, (menjabat 2013 s/d sekarang). Di era modern ini, para kepala desa berhasil menorehkan pelbagai prestasi yang menjadikan Wilanagara sebagai salah satu desa yang aman dan nyaman untuk ditinggali.
***
- Milangkala Desa Wilanagara
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, kehadiran Putri Ong Tien dan Sunan Maulana Jati di Luragung dan Wilanagara terjadi pada tahun 1481 M. Informasi tahun ini didapatkan dari manuskrip Purwaka Caruban Nagari, sebuah naskah kuno dari Cirebon yang kini disimpan di Museum Sribaduga Kota Bandung, Jawa Barat. Sehubungan dengan waktu tinggal kedua tokoh itu, maka dapat diasumsikan terjadi setelah pertengahan tahun karena perjalanan dari Tiongkok baru terjadi pada sekitar bulan April dengan adanya angin muson timur. Apabila dihitung perjalanannya dengan menggunakan perahu dari Tiongkok, maka Putri Ong Tien kemungkinan baru sampai ke Cirebon pada pertengahan tahun. Dari kota pelabuhan itu, sang putri berangkat menuju Luragung dan Wilanagara, lalu tinggal di sana selama beberapa waktu. Dalam tradisi lisan masyarakat, Lemah Luhur dipercayai menjadi tempat rapat Sunan Maulana Jati bersama para tokoh negara lainnya. Rapat dengan para pembesar negara pada umumnya terjadi pada hari raya Islam, yang saat itu mendekati pertengahan tahun adalah peristiwa peringatan Isra Mi’raj tanggal 27 Rajab 886 H, yang menurut konversi laman https://rukyatulhilal.org/konversi/ jatuh pada tanggal 21 September 1481 M.
Pada musyawarah desa, hampir seluruh elemen masyarakat dan aparatur desa yang hadir dalam pertemuan di Balai Desa Wilanagara menyepakati tanggal ini sebagai hari jadi desa. Oleh sebab itu, pemerintah desa memformulasikannya secara sistematis dan meresmikannya menjadi hari jadi desa dalam bentuk Peraturan Desa (PERDES) Wilanagara. Di samping karena telah tumbuhnya kecintaan dan kesadaran sejarah, peristiwa tersebut dianggap menjadi momentum historis penting yang melahirkan masyarakat Desa Wilanagara modern. Meskipun pilihan ini jatuh ke masa periode masyarakat setelah adanya Islam, warga tetap menghargai jasa para leluhur dan pendiri desa, seperti halnya Ratu Bangka, yang telah merintis dan melestarikan kehidupan sehingga menumbuhkan generasi-generasi penerus yang salah satu generasinya kini tengah berkarya bersama-sama membangun Desa Wilanagara.
NAMA KEPALA DESA |
MASA JABATAN |
KETERANGAN |
|
Menjabat sekitar th 1686 |
Tidak di ketahui lama menjabatnya |
|
Menjabat sekitar th 1813 |
Tidak di ketahui lama menjabatnya |
|
Menjabat 1823-1843 M |
|
|
Menjabat 1843-1873 M |
|
|
Menjabat 1873-1903 M |
|
|
Menjabat 1903-1933 M |
|
|
Menjabat 1933-1963 M |
|
|
Menjabat 1963-1973 M |
|
|
Menjabat 1973-1983 M |
|
|
Menjabat 1983-1993 M |
|
|
Menjabat 1993-2003 M |
|
|
Menjabat 2003-2006 M |
Meninggal ketika sedangmenjabat kepala desa |
|
Menjabat 2006-2008 M |
|
|
Menjabat 2008-2013 M |
|
|
Menjabat 2013 M - Sekarang |
|
|
|
|
***
- Pelaksanaan Penelitian dan Penyusunan Sejarah Desa Wilanagara
Kegiatan penyusunan sejarah Desa Wilanagara, sebenarnya telah diniatkan oleh sejumlah para kepala desa dan aparat sebelumnya. Namun karena adanya pelbagai hambatan, hal itu urung terjadi dan tidak pernah terwujudkan. Hingga pada akhirnya, di masa kepemimpinan Kuwu Asep Sudiana, S.Kom, kegiatan penyusunan sejarah desa yang berpondasi penelitian ilmiah, dapat terlaksana. Penelitian ini tidak hanya merangkum sejarah desa dengan berdasarkan sumber cerita tutur atau tradisi lisan semata, akan tetapi mengkoroborasikannya dengan sumber-sumber sejarah lain yang berasal dari beberapa tempat di Indonesia dan Belanda. Penelitian ini telah dirintis sejak tahun 2022 dan terwujud menjadi sebuah karya di tahun 2024 M.
Penelitian dan penulisan ini dilakukan oleh tim yang terdiri dari para ahli dalam bidangnya, dan dipimpin oleh Dr. Tendi, S.Pd., S.T., M.Hum selaku sejarawan dan akademisi sejarah. Hasil dari penelitian ini adalah buku sejarah desa dan momentum historis yang dijadikan sebagai hari jadi Wilanagara. Meski telah diupayakan dengan usaha yang begitu besar dan penuh dengan ketelitian, tentu tulisan ini tidak sempurna dan masih bisa mengandung kealfaan, sehingga saran dan masukan akan sangat kami hargai apabila disampaikan. Terlebih, sejarah akan terus berkembang dari waktu ke waktu, yang mana hal itu akan menjadi rangkaian kisah, yang kelak mesti terus ditambahkan pada lembaran-lembaran catatan sejarah Desa Wilanagara yang akan termaktub kemudian.